Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Rabu, 25 Agustus 2010

Mudahkah Meluruskan Niat?


Dari kecil kita diajarkan dalam pelajaran Agama Islam, bahwa ada dua malaikat di kiri-kanan kita untuk mencatat segala perbuatan baik dan buruk kita. Implementasinya dalam kehidupan real adalah setiap kita melakukan kebaikan, maka malaikat di kanan akan mencatatnya, demikian pula tatkala kita melakukan perbuatan buruk, maka malaikat di sebelah kiri akan mencatat.
Mungkin kita sempat merasa nyaman-nyaman saja saat berbuat kebaikan, apa pun itu bentuknya, termasuk memberikan makan pada kucing liar yang di temukan, atau sekedar menyingkirkan jarum pentul pada sebuah bangku. Kita yakin perbuatan itu akan secara otomatis dicatat oleh malaikat.
Namun di kemudian hari saya menemukan bahwa segala perbuatan baik yang dilakukan akan bernilai ibadah jika kita meluruskan niat, kalau perbuatan itu pure karena Allah.
Lho..kok bisa gitu? Sebab tak jarang kita melakukan kebaikan karena nafsu kita. Nafsu itu ternyata ada yang baik dan buruk pula. Rasa kasihan umpamanya, itu termasuk kategori nafsu yang baik. Contohnya saja nih, ada seorang pengemis tua dan cacat yang menghampiri kita, dalam hati kita merasa kasihan, kemudian menyerahkan selembar seribuan kepadanya. Kalau pemberian itu karena “kasihan” maka itulah nafsu dan tak bernilai ibadah.
So, kita harus meluruskan niat sebelum memberikan uang itu pada pengemis tersebut.
Pertama, kita harus menyadari bahwa “tak ada daun yang jatuh tanpa seijin Allah”, artinya segala kejadian yang menghampiri kita merupakan kehendak-Nya.
Saat pengemis itu mendatangi kita, Allah telah memberikan peluang amal sholeh kepada kita. Rasa kasihan, adalah ‘azan’ kita untuk berbuat baik. Saat itulah kita harus meluruskan niat bahwa pemberian kita semata karena Allah.
Jika di kemudian hari kita mendapati pengemis tua itu ternyata pura-pura cacat, maka kita tidak akan ambil pusing. Itu urusan si pengemis dengan Allah.

Di kejadian umum mungkin sering dialami, kita berbuat baik menolong teman atau keluarga yang kesusahan, kemudian dia yang kita tolong tahu-tahu bertindak menyebalkan (ibaratnya: nggak tahu berterima kasih) atau tak menolong saat kita yang sedang kesusahan, maka kita bisa resah nggak karuan. Ngedumel,”Dulu aja pas butuh nyari gue, sekarang gue butuh cuek, tau gitu nggak gue tolong kemarin, bete!”

Seperti pengalaman dari seorang teman di dunia maya menceritakan pengalaman buruknya dalam membantu teman,”Padahal gue sering traktir dia makan, trus kalo dia bokek langsung nyari gue, selalu gue bantu dia, tapi giliran gue mau pinjem kamera dia aja susahnya minta ampun!”
Atau begini, ketika teman itu butuh tempat curhat dia bela-belain datang ketempat kita atau menelepon kita,setelah masalahnya selesai dia main pergi ajadan nggak ngasih kabar lagi ke kita. Terus..sebaliknya giliran kita butuh dia, dia malah nggak bisa ngasih solusi untuk kita bahkan waktu untuk mendengarkan saja tidak ada.

Nah, jika kita menolong teman atau kerabat itu pure karena Allah, maka kita harus ikhlas, kita tak perlu mengungkit-ungkit, kita tak akan peduli lagi akan tingkah dia di kemudian hari. Mau dia ‘menusuk’ kita dari belakang, mengadu domba, atau memfitnah sekalipun, kemarahan kita tak akan bercampur-baur dengan kebaikan kita padanya di masa lalu.

Tapi, mudahkah melakukan itu semua? Ternyata tetap membutuhkan perjuangan. Layaknya manusia biasa, tak bisa dipungkiri kita terkadang masih menuntut ucapan “terima kasih” atau imbal-balik perbuatan baik dari orang yang telah kita tolong.

Atau perasaan ingin “dihargai” telah melakukan sesuatu, kerap menggoda kita. Padahal kita tahu kalau Allah hanya memandang proses, bukan hasil dari perbuatan kita.
Niat sudah lurus, tahu-tahu dicuekin, bahkan diingat saja tidak kalau kita telah membantunya, maka dalam hati mulai timbul keluhan,”Duh ... gue udah capek-capek ngebantuin proyek dia, kaki lecet jalan jauh, tapi kok nggak ada sekedar say thanks, seh?”

Atau mungkin dalam belajar, ketika ujian kita udah mati-matian belajar tapi giliran hasilnya keluar nggak seperti yang kita inginkan. Malah teman-teman kita yang nyantai-nyantai aja sebelum hari-H bisa dapat nilai tinggi meskipun caranya nggak halal (Nyontek).Bahkan kadang sampai ada yang nggak mau datang kuliah karena masih belum sanggup menerima kenyataan. Padahal...Ini lah saat-saat keikhlasan kita itu di uji.Benar nggak sih usaha kita selama ni benar-benar Karena Allah? Bukan karena buat keluarga orang-orang di sekitar kita bangga.

Kalau memang niat kita menuntut ilmu semata-mata hanya untuk mengharapkan ridho Allah, Insya Allah berapapun hasil yang kita dapat tentu akan kita terima meski kadang tak sesuai harapan. Karena kita sudah serahkan semuanya kepada yang maha menentukan. Tentunya dengan berusaha terus memperbaiki kesalahan. Justru malah seharusnya kita bangga karena apa yang kita dapatkan adalah hasil jerih payah kita sendiri dan nggak ada efek dosa nya kan... Dan percayalah Allah itu Maha Adil, Dia tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang bertawakal kepada-Nya.

Itulah,,, saat kita berharap kepada manusia maka hasilnya tak selalu memuaskan.
Memang masih ada kebingungan saya saat ini, apakah “niat” karena Allah harus selalu dilafazkan setiap kita berbuat baik (layaknya saat mau memulai sholat) atau cukup di hati? Pemahaman yang saya dapatkan baru-baru ini ialah, “niat” itu harus dilafazkan (walau Allah “Maha Tahu”), meski dalam perjalanannya nanti kerap mendapatkan “gangguan” seperti yang saya telah jabarkan di atas.
Kalau memang begitu semestinya, Masya Allah ... begitu banyak perbuatan sia-sia saya selama ini. Jika memang demikian kenyataannya, kendati pahit, tetap saya harus menatap ke depan, tak ada guna menyesali yang lalu, bersyukurlah telah mendapatkan “kebenaran”.

Alangkah entengnya jika niat kita benar-benar karena Allah, perasaan kita akan plong. Misalnya:

1. Nggak masalah jika sumbangan sembako kita dalam acara baksos ternyata nggak terkoordinir dengan baik, bahkan jika dus-dus mie sumbangan kita ternyata terbengkalai atau terinjak-injak massa yang rebutan, hingga akhirnya tidak bisa dikonsumsi lagi.
2. Nggak masalah saat teman yang selama ini kita bantu, tahu-tahu menjelekkan kita pada orang lain.
3. Nggak masalah saat bantuan kita tidak berujung ucapan “terima kasih”, perhatian, ataupun perbuatan baik yang sama
4. Nggak masalah ketika teman yang kita pinjami uang, lama sekali mengembalikannya atau bahkan tak mengembalikan.
5. nggak masalah jika nilai yang kita harapkan nggak sesuai dengan yang kita dapatkan.
5. dll

Sulit? Jangan katakan “sulit” tapi katakan “tidak mudah” sehingga alam bawah sadar kita (yang tidak merespon kata bernada negatif) akan merekam kata “mudah”. Saya pun masih berusaha meluruskan niat. Mari kita berjuang bersama untuk saling meluruskan niat supaya kebahagiaan kita tidak terampas tatkala perbuatan baik kita itu tak berujung seperti yang kita harapkan.

*didapat dari beberapa sumber+pengalaman pribadi…
untuk saling berbagi dalam kebaikan...



R@_Al-Fakhirah
di Kampoeng Hati