Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Rabu, 15 September 2010

Munajat Cinta Ku

Ya Allah jika aku jatuh cinta
Cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya padaMu
Agar bertambah kekuatanku untuk mencintaiMu
Ya Muhaimin jika aku jatuh hati,
Izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut padaMu,
Agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta nafsu…
Ya Rabbana jika aku jatuh hati,
Jagalah hatiku padanya,
Agar tidak berpaling dari hatiMu…
Ya Rabbul Izzati jika aku rindu
Rindukalah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalanMu…
Ya Allah..Jika aku menikmati cinta kekasihMu,
Janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terkhirMu…
Ya Allah…jika aku jatuh hati pada kekasihMu,
Jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepadaMu…
Ya Allah…Jika  Kau halalkan aku merindui kekasihMu,
Jangan biarkan aku melampaui batas
sehingga melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya padaMu…
Aamiin…


Semoga Allah selalu menuntun kita
untuk sukses di dunia dan akhirat-Nya..
selalu menuntun kita mengumpulkan jejak langkah
menuju tempatnya yang paling mulia...
dan tak henti memberi cintaNya kepada kita...

Rabu, 25 Agustus 2010

Mudahkah Meluruskan Niat?


Dari kecil kita diajarkan dalam pelajaran Agama Islam, bahwa ada dua malaikat di kiri-kanan kita untuk mencatat segala perbuatan baik dan buruk kita. Implementasinya dalam kehidupan real adalah setiap kita melakukan kebaikan, maka malaikat di kanan akan mencatatnya, demikian pula tatkala kita melakukan perbuatan buruk, maka malaikat di sebelah kiri akan mencatat.
Mungkin kita sempat merasa nyaman-nyaman saja saat berbuat kebaikan, apa pun itu bentuknya, termasuk memberikan makan pada kucing liar yang di temukan, atau sekedar menyingkirkan jarum pentul pada sebuah bangku. Kita yakin perbuatan itu akan secara otomatis dicatat oleh malaikat.
Namun di kemudian hari saya menemukan bahwa segala perbuatan baik yang dilakukan akan bernilai ibadah jika kita meluruskan niat, kalau perbuatan itu pure karena Allah.
Lho..kok bisa gitu? Sebab tak jarang kita melakukan kebaikan karena nafsu kita. Nafsu itu ternyata ada yang baik dan buruk pula. Rasa kasihan umpamanya, itu termasuk kategori nafsu yang baik. Contohnya saja nih, ada seorang pengemis tua dan cacat yang menghampiri kita, dalam hati kita merasa kasihan, kemudian menyerahkan selembar seribuan kepadanya. Kalau pemberian itu karena “kasihan” maka itulah nafsu dan tak bernilai ibadah.
So, kita harus meluruskan niat sebelum memberikan uang itu pada pengemis tersebut.
Pertama, kita harus menyadari bahwa “tak ada daun yang jatuh tanpa seijin Allah”, artinya segala kejadian yang menghampiri kita merupakan kehendak-Nya.
Saat pengemis itu mendatangi kita, Allah telah memberikan peluang amal sholeh kepada kita. Rasa kasihan, adalah ‘azan’ kita untuk berbuat baik. Saat itulah kita harus meluruskan niat bahwa pemberian kita semata karena Allah.
Jika di kemudian hari kita mendapati pengemis tua itu ternyata pura-pura cacat, maka kita tidak akan ambil pusing. Itu urusan si pengemis dengan Allah.

Di kejadian umum mungkin sering dialami, kita berbuat baik menolong teman atau keluarga yang kesusahan, kemudian dia yang kita tolong tahu-tahu bertindak menyebalkan (ibaratnya: nggak tahu berterima kasih) atau tak menolong saat kita yang sedang kesusahan, maka kita bisa resah nggak karuan. Ngedumel,”Dulu aja pas butuh nyari gue, sekarang gue butuh cuek, tau gitu nggak gue tolong kemarin, bete!”

Seperti pengalaman dari seorang teman di dunia maya menceritakan pengalaman buruknya dalam membantu teman,”Padahal gue sering traktir dia makan, trus kalo dia bokek langsung nyari gue, selalu gue bantu dia, tapi giliran gue mau pinjem kamera dia aja susahnya minta ampun!”
Atau begini, ketika teman itu butuh tempat curhat dia bela-belain datang ketempat kita atau menelepon kita,setelah masalahnya selesai dia main pergi ajadan nggak ngasih kabar lagi ke kita. Terus..sebaliknya giliran kita butuh dia, dia malah nggak bisa ngasih solusi untuk kita bahkan waktu untuk mendengarkan saja tidak ada.

Nah, jika kita menolong teman atau kerabat itu pure karena Allah, maka kita harus ikhlas, kita tak perlu mengungkit-ungkit, kita tak akan peduli lagi akan tingkah dia di kemudian hari. Mau dia ‘menusuk’ kita dari belakang, mengadu domba, atau memfitnah sekalipun, kemarahan kita tak akan bercampur-baur dengan kebaikan kita padanya di masa lalu.

Tapi, mudahkah melakukan itu semua? Ternyata tetap membutuhkan perjuangan. Layaknya manusia biasa, tak bisa dipungkiri kita terkadang masih menuntut ucapan “terima kasih” atau imbal-balik perbuatan baik dari orang yang telah kita tolong.

Atau perasaan ingin “dihargai” telah melakukan sesuatu, kerap menggoda kita. Padahal kita tahu kalau Allah hanya memandang proses, bukan hasil dari perbuatan kita.
Niat sudah lurus, tahu-tahu dicuekin, bahkan diingat saja tidak kalau kita telah membantunya, maka dalam hati mulai timbul keluhan,”Duh ... gue udah capek-capek ngebantuin proyek dia, kaki lecet jalan jauh, tapi kok nggak ada sekedar say thanks, seh?”

Atau mungkin dalam belajar, ketika ujian kita udah mati-matian belajar tapi giliran hasilnya keluar nggak seperti yang kita inginkan. Malah teman-teman kita yang nyantai-nyantai aja sebelum hari-H bisa dapat nilai tinggi meskipun caranya nggak halal (Nyontek).Bahkan kadang sampai ada yang nggak mau datang kuliah karena masih belum sanggup menerima kenyataan. Padahal...Ini lah saat-saat keikhlasan kita itu di uji.Benar nggak sih usaha kita selama ni benar-benar Karena Allah? Bukan karena buat keluarga orang-orang di sekitar kita bangga.

Kalau memang niat kita menuntut ilmu semata-mata hanya untuk mengharapkan ridho Allah, Insya Allah berapapun hasil yang kita dapat tentu akan kita terima meski kadang tak sesuai harapan. Karena kita sudah serahkan semuanya kepada yang maha menentukan. Tentunya dengan berusaha terus memperbaiki kesalahan. Justru malah seharusnya kita bangga karena apa yang kita dapatkan adalah hasil jerih payah kita sendiri dan nggak ada efek dosa nya kan... Dan percayalah Allah itu Maha Adil, Dia tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang bertawakal kepada-Nya.

Itulah,,, saat kita berharap kepada manusia maka hasilnya tak selalu memuaskan.
Memang masih ada kebingungan saya saat ini, apakah “niat” karena Allah harus selalu dilafazkan setiap kita berbuat baik (layaknya saat mau memulai sholat) atau cukup di hati? Pemahaman yang saya dapatkan baru-baru ini ialah, “niat” itu harus dilafazkan (walau Allah “Maha Tahu”), meski dalam perjalanannya nanti kerap mendapatkan “gangguan” seperti yang saya telah jabarkan di atas.
Kalau memang begitu semestinya, Masya Allah ... begitu banyak perbuatan sia-sia saya selama ini. Jika memang demikian kenyataannya, kendati pahit, tetap saya harus menatap ke depan, tak ada guna menyesali yang lalu, bersyukurlah telah mendapatkan “kebenaran”.

Alangkah entengnya jika niat kita benar-benar karena Allah, perasaan kita akan plong. Misalnya:

1. Nggak masalah jika sumbangan sembako kita dalam acara baksos ternyata nggak terkoordinir dengan baik, bahkan jika dus-dus mie sumbangan kita ternyata terbengkalai atau terinjak-injak massa yang rebutan, hingga akhirnya tidak bisa dikonsumsi lagi.
2. Nggak masalah saat teman yang selama ini kita bantu, tahu-tahu menjelekkan kita pada orang lain.
3. Nggak masalah saat bantuan kita tidak berujung ucapan “terima kasih”, perhatian, ataupun perbuatan baik yang sama
4. Nggak masalah ketika teman yang kita pinjami uang, lama sekali mengembalikannya atau bahkan tak mengembalikan.
5. nggak masalah jika nilai yang kita harapkan nggak sesuai dengan yang kita dapatkan.
5. dll

Sulit? Jangan katakan “sulit” tapi katakan “tidak mudah” sehingga alam bawah sadar kita (yang tidak merespon kata bernada negatif) akan merekam kata “mudah”. Saya pun masih berusaha meluruskan niat. Mari kita berjuang bersama untuk saling meluruskan niat supaya kebahagiaan kita tidak terampas tatkala perbuatan baik kita itu tak berujung seperti yang kita harapkan.

*didapat dari beberapa sumber+pengalaman pribadi…
untuk saling berbagi dalam kebaikan...



R@_Al-Fakhirah
di Kampoeng Hati

Sabtu, 05 Juni 2010

KHASIAT MINYAK ZAITUN

1. Jika diminum bermanfaat untuk :
- menurunkan kadar kolesterol
- menguatkan kandung empedu
- menurunkan kadar gula
- menurunkan asam lambung
2. Jika dioleskan bermanfaat untuk :
- menghilangkan flek dan kerut di wajah
- melindungi dari bakteri
- mencegah rontoknya rambut
- menghilangkan penyakit kulit
3. Sangat bermanfaat bagi ibu menyusui
4. Sangat baik bagi anak-anak untukmewncegah timbulnya berbagai macam penyakit kulit
5. Meningkatkan fungsi liver
6. Membantu meremajakan sel-sel tubuh
7. Obat awet muda
8. Mencegah dan mengobati maag
9. Meningkatkan kerja empedu
10. Mencegah dan mengobati radang usus
11. Membantu sistem pencernaan
12. Mencegah timbulnya penyakit urat darah koroner melalui pengurangan level LDL
13. Vitamin E, A, D, dan K dalam darah sangat penting untuk pertumbuhan tulang dan kadar mineral dalam tubuh anak-anak dan orang dewasa. Ia memperkuat tulang-belulang dengan cara menstabilkan kalsium. Minyak zaitun merupakan unsur vital dalam membangun organisme-organisme tubuh. Unsur-unsur antioksidan semacam ini dan asam-asam lemak seperti asam linoleik, yang sangat penting bagi manusia, memperbanyak hormon dan sintesis membran sel-sel biologis. Karena vitamin-vitamin ini memperbaharui sel, mereka juga digunakan untuk mengatasi keluhan-keluhan yang terkait dengan usia seseorang dan perawatan kulit.
14.
Karena vitamin memberi sumbangan pada pertumbuhan otak dan jaringan saraf bayi sebelum dan sesudah kelahiran, satu-satunya rekomendasi para spesialis kepada para ibu adalah minyak zaitun. Di samping memiliki satu peringkat asam linoleik yang sangat mirip tarafnya dengan ASI, minyak zaitun berfungsi sebagai sumber nutrisi alami seperti halnya ASI bila dicampur dengan susu sapi bebas lemak. Sebagai harta milik kesehatan yang penting, minyak zaitun, mujarab untuk mengatasi penyakit-penyakit jantung dan saluran darah. Sehubungan dengan segala kemanjuran dan kemanfaatan itu, minyak zaitun telah menarik perhatian para spesialis kesehatan dalam kurun tahun terakhir ini
15. Profesor Asman, Ketua Akademi Studi Arteriosclerosis di Universitas Monstar, Jerman, dia merupakan peneliti paling menonjol di dunia di bidang kedokteran dan arteriosclerosis, ia berkata, “Pengkonsumsian minyak zaitun bisa melindungi tubuh dari serangan sejumlah kanker lainnya, di antaranya kanker colon, kanker rahim, kanker ovarium, sekalipun jumlah studi ini masih terlalu minim.” Minyak Zaitun dan Kanker Payudara. Sebuah studi yang dipublikasikan di bulan November 1995 dan dilakukan terhadap 2.564 wanita yang terkena kanker payudara, menegaskan bahwa ada korelasi terbalik antara kemungkinan terjadinya kanker payudara dengan pengkon-sumsian minyak zaitun, dan bahwa banyak mengkonsumsi minyak zaitun memberikan andil dalam melindungi seseorang dari serangan kanker payudara.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Majalah Archives of Internal Medicine edisi Agustus 1998 M menegaskan bahwa pengkonsumsian sesendok makan minyak zaitun setiap hari bisa mengurangi bahaya terjadinya kanker payudara sampai pada kadar 45%. Minyak Zaitun dan Kanker Rahim. Majalah Kanker Britania mempublikasikan di bulan Mei 1996 M sebuah studi yang dilakukan terhadap 145 wanita Yunani yang terkena kanker rahim. Para peneliti mengkorelasikan antara wanita-wanita yang terkena kanker rahim tersebut dengan wanita-wanita yang banyak mengkonsumsi minyak zaitun. Ternyata, para wanita yang mengkonsumsi minyak zaitun lebih sedikit yang terkena kanker rahim. Di mana kemungkinan terjadinya kanker pada mereka turun sampai 26%.
16. Minyak Zaitun dan Kanker Lambung.
Sejumlah studi ilmiah modern menunjukkan bahwa mengkonsumsi minyak zaitun secara teratur bisa mengurangi terjadinya kanker lambung. Tapi masih diperlukan berbagai studi ilmiah lanjutan mengenai hal ini.
Minyak Zaitun dan Kanker Colon.
Ada juga beberapa studi yang menunjukkan bahwa peng-konsumsian buah-buahan, sayur-sayuran, dan minyak zaitun, memainkan peran penting dalam melindungi tubuh dari serangan kanker colon. Minyak Zaitun dan Kanker Kulit (Melanoma). Majalah Dertmatdogg Times edisi bulan Agustus 2000 M menyebutkan sebuah studi yang menunjukkan bahwa meng-gunakan minyak zaitun setelah renang sebagai krim kulit dan berjemur, akan melindungi terjadinya kanker kulit (melanoma).
Minyak Zaitun Mengurangi Timbulnya Tukak Lambung.Dr.Samût, dari Universitas Harvard Amerika, menyampaikan sebuah studi di Kongres Terakhir Organisasi Penyakit Sistem Pencernaan Amerika yang diadakan pada bulan Oktober 2000 M. Dr. Samût menegaskan bahwa gizi yang terkandung dalam minyak zaitun bisa memiliki pengaruh positif dalam melindungi tubuh dari kanker lambung dan mengurangi timbulnya penyakit tukak lambung. Minyak Zaitun Berkhasiat Seperti ASI.
Dalam sebuah studi modern yang dipublikasikan di bulan Februari 1996 M di Universitas Barcelona, Spanyol, yang dilakukan terhadap empat puluh wanita yang menyusui, diambil sampel ASI dari mereka. Para peneliti menemukan bahwa kebanyakan lemak yang terkandung di dalam ASI termasuk jenis lemak yang berantai tunggal. Jenis lemak ini dikategorikan sebagai lemak terbaik yang seharusnya dikonsumsi oleh manusia, dan itulah jenis lemak yang terkenal terdapat dalam minyak zaitun.
17. Minyak Zaitun Mengurangi Peradangan Sendi. Majalah AMJ CLIN NUTR edisi November 1999 M, mempu-blikasikan sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 145 pasien pengidap sakit persendian semacam arthritis di Yunani Utara. Mereka dikorelasikan dengan 108 orang yang sehat. Dalam penelitian ini terlihat bahwa pengkonsumsian minyak zaitun bisa memberikan andil dalam melindungi tubuh dari terjadinya penyakit ini.
18. Minyak Zaitun Membunuh Kutu Kepala. Beberapa studi yang dilakukan di beberapa Universitas dan Akademi di Amerika, tentang kutu kepala, menunjukkan bahwa penggunaan minyak zaitun sebagai minyak rambut yang terkena kutu, dalam beberapa jam saja bisa membunuh kutu yang ada di kepala. Kiranya jelas sudah info khasiat dan pengobatan dengan Minyak Zaitun, semoga bermanfaat bagi kita semua. Alhasil, setap penyakit ada obatnya, kita bertawakkal dan berserah diri kepada Allah Ta’ala, akan tetapi Ikhtiar menjaga kesehatan itu lebih baik dari pada pengobatan. Wasalam.

Sabtu, 29 Mei 2010

Menumbuhkan Semangat Menuntut Ilmu pada Muslimah

Sesungguhnya, dalam menjalani berbagai perannya, peran wanita dapat dipetakan menjadi tiga peran penting yaitu sebagai sebagai pribadi muslimah, sebagai istri, dan sebagai ibu. Pada masing-masing peran, dibutuhkan ilmu yang dapat menjaganya dari berbagai bentuk penyimpangan. Berikut penjelasan ketiga hal tersebut:

1. Sebagai pribadi muslimah
Seorang muslimah akan selalu terikat dengan berbagai aturan agama yang menyangkut dirinya sebagai seorang yang beragama Islam seperti kewajiban untuk merealisasikan rukun iman dan rukun Islam serta aturan lain yang merupakan konsekuensi dari kedua hal tersebut ataupun kewajiban yang terkait dengan kedudukannya sebagai seorang wanita seperti larangan dan kewajiban pada masa haid, kewajiban menutup aurot, dan sebagainya. Seluruh hal tersebut memerlukan ilmu sehingga kewajiban menuntut ilmu juga dibebankan kepda kaum wanita sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

 طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Mencari ilmu itu merupakan kewajiban bagi seorang muslim.” (Hadits shahih riwayat Ibnu Adi dan Baihaqi dari Anas radhiyallahu ‘anhu )

Al Hafizh Al Sahawi rahimahullah berkata, “Sebagian penulis menambahkan kata-kata muslimatin pada akhir hadits. Kata-kata ini tidak pernah disebutkan satu kali pun dalam berbagai sanad hadits tersebut, sekalipun secara makna memang benar.”

Bertolak dari hal ini Ibnu Hazm rahimahullah berkomentar, “Menjadi kewajiban bagi wanita untuk pergi dalam rangka mendalami ilmu agama sebagaimana hal ini menjadi kewajiban bagi kaum laki-laki. Setiap wanita diwajibkan untuk mengetahui ketentuan-ketentuan agama berkenaan dengan permasalahan bersuci, shalat, puasa dan makanan, minuman, serta pakaian yang dihalalkan dan yang diharamkan sebagaimana kaum laki-laki, tanpa ada perbedaan sedikitpun di antara keduanya. Mereka juga harus mempelajari berbagai tutur kata dan sikap yang benar baik dengan belajar sendiri maupun dengan diperkenankan untuk bertemu seseorang yang dapat mengajarinya. Menjadi kewajiban para penguasa untuk mengharuskan rakyatnya agar menjalankan kewajiban ini”. (Al Ihkam fii Ushulil Ahkam 1/413 dalam Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah, hlm. 7).

Al Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah juga berkata, “Sering aku menganjurkan kepada manusia agar mereka menuntut ilmu syar’i karena ilmu laksana cahaya yang menyinari. Menurutku kaum wanita lebih dianjurkan dibanding kaum laki-laki karena jauhnya mereka dari ilmu agama dan hawa nafsu begitu mengakar dalam diri mereka. Kita lihat seorang putri yang tumbuh besar tidak mengerti cara bersuci dari haid, tidak bisa membaca Al Qur’an dengan baik dan tidak mengerti rukun-rukun Islam atau kewajiban istri terhadap suami. Akhirnya mereka mengambil harta suami tanpa izinnya, menipu suami dengan anggapan boleh demi keharmonisan rumah tangga serta musibah-musibah lainnya.” (Ahkamun Nisa’ hlm. 6 dalam Majalah Al Furqon edisi 11 tahun VII).

2. Sebagai istri
Seorang istri memiliki kewajiban untuk menaati suaminya dalam hal-hal yang bukan merupakan kemaksiatan terhadap Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى المَََْعْرُوْفِ
“Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka tidaklah seorang istri dapat mengetahui apakah suatu urusan merupakan kemaksiatan atau bukan kecuali dengan ilmu syar’i.
Selain itu, di akhir zaman ini, ketika keburukan banyak bertebaran di muka bumi yang membuat banyak orang hanyut dalam lumpur dosa, maka seorang istri yang sholihah harus membekali dengan ilmu syar’i agar dapat menjaga keistiqomahan dirinya dan suaminya serta keluarganya. Dengan nasihat yang baik dan kelemahlembutan yang dimiliki seorang wanita, seorang suami akan mampu menemukan ketenangan dan kekuatan yang akan menjaga dirinya dan keluarganya dari perbuatan-perbuatan dosa misalnya berbuat syirik dan bid’ah, berzina, mencari nafkah yang haram, mengambil riba, dan perkara-perkara maksiat lainnya. Karena agama adalah nasihat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الـدِيْـنُ النَصِيْحَةُ
“Agama adalah nasiha.t” (HR. Muslim)
Nasihat akan lebih dapat diterima oleh hati manusia jika diiringi dengan sikap lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman dalam rangka memberi perintah kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dan saudaranya (Harun) ketika berdakwah kepada Fir’aun,
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى٭ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى٭

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Qs. Thaahaa : 43-44)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam sebuah hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
يَا عَائِشَة إِنَّ الرِّفْقَ مَا كَانَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَنُزِعَ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Wahai ‘Aisyah, tidaklah kelembutan terdapat pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu melainkan akan memburukkannya.”

3. Sebagai ibu
Sebuah syair Arab mengungkapkan hal berikut,
الأُمُّ مَدْرَسَةٌ إِذَا أَعْدَدْتَهَا أَعْدَدْتَ شَعْبًا طَيِّبَ الْأَعْرَاقِ
“Seorang ibu tak ubahnya bagai sekolah. Bila kita mempersiapkan sekolah itu secara baik, berarti kita telah mempersiapkan suatu bangsa dengan generasi emas.”

Beban perbaikan dan pembentukan masyarakat yang Islami juga menjadi tanggung jawab wanita. Hal ini dikarenakan jumlah wanita yang lebih banyak dari laki-laki dan seorang anak tumbuh dari bimbingan seorang wanita. Maka, tidak bisa tidak seorang wanita harus membekali dirinya dengan ilmu syar’i khususnya mengenai pendidikan anak karena pendidikan anak menjadi tugas utama yang dibebankan kepada kaum wanita.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hendaknya seorang wanita membaguskan pendidikan anak-anaknya karena anak-anaknya adalah generasi penerus di masa yang akan datang. Dan yang mereka contoh pertama kali adalah para ibu. Jika seorang ibu mempunyai akhlak, ibadah, dan pergaulan yang bagus, mereka akan tumbuh terdidik di tangan seorang ibu yang bagus. Anak-anaknya ini akan mempunyai pengaruh positif dalam masyarakat. Oleh karena itu, wajib bagi para wanita yang mempunyai anak untuk memperhatikan anak-anaknya, bersungguh-sungguh dalam mendidik mereka, memohon pertolongan jika suatu saat tidak mampu memperbaiki anaknya baik lewat bantuan bapak atau jika tidak ada bapaknya lewat bantuan saudara-saudaranya atau pamannya dan sebagainya”. (Daurul Mar’ah fi Ishlah Al Mujtama’ hlm. 25-26 dalam Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VIII)

Seorang ibu yang cerdas dan shalihah tentu saja akan melahirkan keturunan yang cerdas dan sholih pula, bi idzinillah. Lihatlah hal itu dalam diri seorang shahabiyah yang mulia, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang merupakan pembantu setia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain cerdas, ia juga penyabar dan pemberani. Ketiga sifat mulia inilah yang menurun kepada Anas dan mewarnai perangainya di kemudian hari. (Ibunda Para Ulama, hlm.25)

Dengan kecerdasannya, ia ‘hanya’ meminta sebuah mahar yang ringan diucapkan namun terasa berat konsekuensinya, yaitu keislaman Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu yang meminangnya saat itu. Dengan kesabarannya pula, ia mampu menyimpan rapat-rapat kesedihannya karena kematian putranya demi menenangkan suaminya.
Potret Semangat Para Salafush Shalih dalam Menuntut Ilmu Demikian pentingnya peran para wanita. Dalam setiap lini kehidupannya, pasti membutuhkan ilmu syar’i. Hal ini pula yang dimengerti betul oleh para shahabiyah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka meminta waktu khusus pada beliau untuk mengkaji masalah-masalah agama.
Dari Abu Sa’id Al Khudriy radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa ada seorang wanita menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah memborong waktumu. Oleh karenanya peruntukkanlah untuk kami sebuah waktu khusus yang engkau tetapkan sendiri. Pada waktu itu kami akan mendatangimu lalu engkau ajarkan kepada kami ilmu yang telah Allah ajarkan kepadamu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini di tempat ini.” Kaum wanita pun berkumpul, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mendatangi mereka dan mengajari mereka ilmu yang telah Allah ajarkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semangat kaum wanita muslimah dalam mencari ilmu telah mencapai puncaknya hingga mereka menuntut adanya majelis ilmu yang khusus diperuntukkan untuk mengajari mereka. Padahal sebenarnya mereka telah mendengarkan kajian Rasulullah di masjid serta nasihat-nasihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian juga keadaan para wanita Anshar padamasa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita dari kaum Anshar. Rasa malu tidak menghalangi diri mereka untuk mendalami ilmu agama.” (HR. Muslim)
Kita jumpai pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan kaum wanita untuk menghadiri berbagai majelis ilmu guna menambah bekal keilmuan mereka.
Dari Ummu ‘Athiyah al Anshariyyah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kami untuk menghadiri sholat hari raya ‘Idul Fithri dan hari raya ‘Idul Adha, baik awatiq (gadis yang sudah baligh atau hampir baligh), maupun wanita-wanita yang sedang haid dan juga gadis-gadis pingitan. Adapun wanita yang sedang haid, mereka hendaknya tidak berada di tempat shalat. Saat itu mereka menyaksikan kebaikan dan doa yang dipanjatkan oleh kaum muslimin. Ummu Athiyah berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya muslimah yang lain meminjami jilbab untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim) (Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah, hlm. 8-10)
Sejarah telah mencatat, ulama tidak hanya berasal dari kalangan laki-laki saja. Ada banyak ulama wanita yang masyhur dan bahkan menjadi rujukan bagi ulama dari kalangan laki-laki. Lihat saja ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, wanita cerdas yang namanya akan terus dibaca oleh kaum muslimin dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Aisyah pula yang merupakan sebaik-baik teladan para wanita dalam menuntut ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum.
Az Zuhri mengatakan, “Andai ilmu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha itu dikumpulkan lalu dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu yang dimiliki oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha itu lebih unggul”. (Al Haitsami berkata dalam al Majma’ (9/243), “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabarani sedangkan rawi-rawinya adalah orang yang bisa dipercaya.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Hakim 4/139. Lihat: Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah, hlm. 20)
Begitu juga dengan masa setelah para shahabat (yaitu masa tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan seterusnya). Setiap zaman selalu menorehkan tinta emas nama-nama para ulama wanita hingga masa sekarang ini. Di antara mereka, adalah putri-putri ulama besar di jamannya. Sebut saja putri Sa’id bin Musayyib (tabi’in), putri Imam Malik, Ummu ‘Abdillah binti Syaikh Muqbil bin Hadi, dan lainnya.
Apakah ilmu yang mereka dapatkan itu merupakan ilmu warisan dari ayah-ayah mereka yang seorang ulama? Jawabannya, tentu tidak. Ilmu bukanlah harta benda yang dapat diwariskan begitu saja.
Alangkah bagusnya apa yang diceritakan oleh Al Farwi, “Kami pernah duduk di majelis Imam Malik. Pada saat itu putra beliau keluar masuk majelis dan tidak mau duduk untuk belajar. Maka Imam Malik menghadap kami seraya berkata, “Masih ada yang meringankan bebanku yaitu bahwa masalah ilmu ini tidak bisa diwariskan.” (Majalah al Furqon edisi 12 tahun VI)
Tentu saja ilmu yang mereka dapatkan tidak datang begitu saja. Ada usaha dan pengorbanan yang besar untuk meraihnya. Mari kita simak kegigihan para salaf dahulu dalam menuntut ilmu.
Hasan Al Bashri berkata, “Apabila engkau mendapati seseorang yang mengalahkanmu dalam urusan dunia, maka kalahkanlah dia dalam urusan akhirat.”
Imam Ahmad berwasiat kepada putranya, “Aku telah menginfakkan diriku untuk perjuangan”. Ketika Imam Ahmad ditanya kapan seseorang dapat beristirahat? Maka beliau menjawab, “Ketika pertama kali menginjakkan kakinya di surga.”
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Dahulu generasi salaf menuntut ilmu karena Allah, maka mereka pun menjadi terhormat dan menjadi para imam panutan. Kemudian datanglah suatu kaum yang menuntut ilmu yang pada mulanya bukan karena Allah dan berhasil memperolehnya. Namun kembali kepada jalan yang lurus dan mengintrospeksi dirinya sendiri dan akhirnya ilmu itu sendiri yang mendorong dirinya menuju keikhlasan di tengah jalan. Sebagaimana dinyatakan oleh Mujahid dan lainnya, “Dahulu kami menuntut ilmu tanpa niat yang tinggi. Namun, kemudian Allah menganugerahi niat tersebut sesudah itu.” Sebagian ulama menyatakan, “Kami hendak menuntut ilmu untuk selain Allah. Namun ternyata ia hanya bisa dilakukan karena Allah”. (Panduan Akhlak Salaf , hlm. 7)
Para salaf yang lain juga benar-benar bersemangat memperhatikan permasalahan niat ini. Sufyan Ats Tsauri berkata, “Saya tidak pernah mengobati sesuatu melebihi terapiku terhadap niat.”
Tidak hanya hati saja yang mereka jaga kesungguhan dan ketulusannya ketika menuntut ilmu, tubuh mereka pun ditempa sedemikian rupa sehingga menjadi raga yang kuat menghadapi rintangan dalam perjalanan menuntut ilmunya. Perhatikanlah kisah Hajjaj bin Sya’ir ini, “Ibuku pernah menyiapkan untukku seratus roti kering dan aku menaruhnya di dalam tas. Beliau mengutusku ke Syubbanih (salah seorang ahli hadits) di Madain. Aku tinggal di sana selama seratus hari. Setiap hari aku membawa seratus roti dan mencelupkannya ke sungai Dajlah kemudian aku memakannya. Setelah roti habis aku kembali ke ibuku.” (102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara, hlm. 274).
Penutup
Mungkin saja kita tidak bisa setara dengan para salafush sholih dalam semangat mereka menuntut ilmu. Akan tetapi, segala upaya harus kita kerahkan agar semangat menuntut ilmu itu selalu terhujam kuat di dalam hati kita.
Allah berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (Qs. At Taghaabun : 16)
Maka tidak ada lagi alasan “Saya cuma ibu rumah tangga” atau “Saya sudah jadi seorang istri” atau “Saya tinggal di tempat yang jauh dari majelis ilmu” untuk menghindari kewajiban menuntut ilmu. Dengan berkembangnya teknologi di masa sekarang ini –misalnya internet, radio, rekaman kajian (kaset, CD, VCD, DVD), buku-buku Islam, dan majalah Islami- cukup memudahkan kita para wanita untuk tetap dapat menuntut ilmu tanpa harus datang dan duduk langsung dalam sebuah majelis ilmu jika keadaan memang tidak memungkinkan.
Semoga dengan sedikit pemaparan di atas, semangat para wanita untuk menuntut ilmu dapat tumbuh subur, sehingga dengan ijin Allah Ta’ala kita dapat songsong kembali kejayaan umat Islam di atas manhaj salafush sholih.
Wallahu Ta’ala A’lam.


Penulis: Ummu Nabiilah Siwi Nur Danayanti
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Referensi:
Abdul Azis bin Nashir Al Jalil, Panduan Akhlaq Salaf (Terjemahan dari Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf), At Tibyan, Solo.
Abu Anisah bin Luqman al Atsari, Tugas Mulia Seorang Ibu, Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VIII.
Abu Maryam Fathi Sayyid, Para Ulama Wanita Pengukir Sejarah (Terjemahan dari Shafahat Musriqah min Sirah al ‘Alimat al Muslimat), Samodra Ilmu, Yogyakarta.
Abul Qa’qa’ Muhammad bin Shalih Alu ‘Abdillah, 102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara (Terjemahan dari Kaifa Tatahammas fi Thalabil ‘Ilmi Syar’i Aktsar min 100 Thariqatan lit Tahammus li Thalabil ‘Ilmi Syar’i), Elba, Surabaya.
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi, 10 Faidah Seputar Dunia Wanita, Majalah Al Furqon edisi 11 tahun VII.
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Wanita-wanita Pengukir Sejarah Islamiah, Majalah Al Furqon edisi 12 tahun VI.
Sufyan bin Fuad Baswedan, Ibunda Para Ulama, Wafa Press, Klaten.
***
Artikel muslimah.or.id